Risalah ke empat puluh
lima
Mutiara karya Syeikh Abdul Qadir Jailani
Mutiara karya Syeikh Abdul Qadir Jailani
Ia
bertutur:
Ketahuilah bahwa ada dua macam
manusia.
Yang pertama ialah manusia yang dikaruniai kebaikan-kebaikan
duniawi.
Yang kedua ialah manusia yang diuji dengan ketentuan-Nya.
Manusia yang mendapatkan kebaikan duniawi, tak bebas dari noda
dosa dan kegelapan dalam menikmati yang mereka dapatkan
itu.
Manusia semacam itu bermewah-mewah dengan
karunia duniawi ini. Bila ketentuan Allah datang, yang menggelapi sekitarnya
melalui aneka musibah yang berupa penyakit, penderitaan, kesulitan hidup,
sehingga ia hidup sengsara, dan tampak seolah-olah ia tak pernah menikmati
sesuatu pun. Ia lupa akan kesenangan dan
kelezatannya.
Dan jika kecerahan menimpanya, maka seolah-olah ia tak pernah
mengalami musibah. Sedang jika ia mengalami musibah, maka seolah-olah tiada
kebahagiaan. Semua ini disebabkan oleh pengabdian terhadap
Tuhannya.
Nah,
jika ia telah tahu bahwa Tuhannya sepenuhnya bebas bertindak sekehendak-Nya,
mengubah, memaniskan, memahitkan, memuliakan, menghinakan, menghidupkan,
mematikan, memajukan dan memundurkan - jika ia telah tahu semua ini, maka ia tak
merasa bahagia di tengah-tengah kebahagiaan duniawi dan tak merasa bangga
karenanya, juga tak berputus asa akan kebahagiaan di kala
duka.
Perilaku salahnya ini disebabkan juga oleh ketaktahuannya akan
dunia ini, yang sebenarnya tempat ujian, kepahitan, kejahilan, kepedihan dan
kegelapan.
Jadi kehidupan duniawi itu bak pohon gaharu, yang rasa pertamanya
pahit, sedang rasa akhirnya manis seperti madu, dan tiada seorang pun dapat
merasakan manisnya, sebelum ia merasakan pahitnya. Tak seorang pun dapat
mengecap madunya, sebelum ia tabah atas
kepahitannya.
Maka, barangsiapa tabah atas cobaan-cobaan duniawi, maka ia berhak
mengecap rahmat-Nya.
Tentu, seorang pekerja mesti diberi upah setelah keningnya
berkeringat, tubuh dan jiwanya letih. Maka, bila orang telah mereguk semua
kepahitan ini, maka datang kepadanya makanan dan minuman lezat, busana yang
bagus dan kesenangan meski sedikit.
Jadi, dunia adalah sesuatu, yang bagian pertamanya ialah
kepahitan, bagai pucuk madu di sebuah bejana yang berbaur dengan kepahitan,
sehingga si pemakan tak mungkin mencapai dasar bejana, dan yang dimakannya
hanyalah madu murninya sampai ia mengecap pucuknya.
Nah, bila hamba Allah telah berupaya keras menunaikan perintah
Allah, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung, menjauh dari larangan-Nya, dan pasrah
kepada-Nya, maka bila ia telah mereguk kepahitannya, menahan bebannya, berupaya
melawan kehendaknya sendiri dan mencampakkan maksud-maksud pribadinya, maka
Allah mengkaruniainya, sebagai hasil dari ini, kehidupan yang baik, kesenangan,
kasih-sayang dan kemuliaan.
Maka menjadilah Ia walinya dan menyuapinya persis seperti seorang
bayi yang disuapi, yang tak berdaya, yang tak berupaya keras di dunia ini dan di
akhirat, yang juga seperti pemakan pucuk pahit madu yang mengecap dengan
lahapnya bagian bawah isi bejana.
Nah, patutlah bagi sang hamba yang telah dikaruniai oleh Allah,
untuk tak merasa aman dari cobaan-Nya, untuk tak merasa yakin akan kekekalannya,
agar tak lupa bersyukur atasnya.
Nabi Suci saw. berkata: "Kebahagiaan duniawi merupakan sesuatu
yang ganas; maka jinakkanlah ia dengan
kebersyukuran."
Jadi, mensyukuri rahmat berarti mengakui sang Pemberinya, Yang
Mahapemurah, yaitu Allah, senantiasa mengingatnya, tak mengklaim atas-Nya, tak
mengabaikan perintah-Nya, dan diiringi dengan penunaian kewajiban terhadap-Nya,
yakni mengeluarkan zakat, membersihkan diri, bersedekah, berkorban sebagai
nazar, meringankan beban penderitaan kaum lemah dan membantu mereka yang
membutuhkan , yang mengalami kesulitan dan yang keadaannya berubah dari baik
menjadi buruk, yaitu, yang masa-masa bahagia dan harapannya telah berubah
menjadi kedukaan.
Bersyukurnya anasir tubuh atas rahmat berupa digunakannya anasir
tubuh itu untuk menunaikan perintah-perintah Allah dan mencegah diri dari
hal-hal yang haram, dari kekejian dan dosa.
Inilah cara melestarikan
rahmat, mengairi tanamannya dan memacu tumbuhnya dedahanan dan dedaunannya;
mempercantik buahnya, memaniskan rasanya, memudahkan penelanannya, mengenakkan
pemetikannya dan membuat rahmatnya mewujud di seluruh organ tubuh lewat berbagai
tindak kepatuhan kepada-Nya, seperti lebih mendekatkan diri kepada-Nya dan
senantiasa mengingat-Nya, yang kemudian memasukkan sang hamba, di akhirat, ke
dalam kasih-sayang-Nya, Yang Mahakuasa lagi Mahaagung, dan menganugerahi-nya
kehidupan abadi di taman-taman surga bersama dengan para Nabi Suci, shiddiq,
syahid dan shalih - inilah suatu kebersamaan yang
indah.
Namun, jika tak berlaku begini, mencintai keindahan lahiriah
kehidupan semacam itu, asyik menikmatinya dan puas dengan gemerlapnya
fatamorgananya, yang kesemuanya bagai embusan sepoi angin dingin di pagi musim
panas, dan bagai lembutnya kulit naga dan kalajengking; dan menjadi lupa akan
bisa mautnya dan tipuannya - kesemuanya ini akan menghancurkannya - orang
seperti itu mesti diberi kabar-kabar gembira tentang penolakan, kehancuran yang
segera, kehinaan di dunia ini dan siksaan kelak dalam api neraka nan
abadi.
Cobaan atas manusia - kadang berupa hukuman atas pelanggaran
terhadap hukum dan atas dosa yang telah diperbuatnya. Kadang berupa pembersihan
noda, dan kadang pula berupa pemuliaan maqam ruhani manusia, yang baginya rahmat
Tuhan semesta terkaruniakan sebelumnya, yang melalukannya dari bencana dengan
kelembutan, sebab cobaan semacam itu tak dimaksudkan untuk menghancurkan dan
mencampakkannya ke dasar neraka, tapi, dengan begini, Allah mengujinya untuk
dipilih dan mewujudkan darinya hakikat iman, mensucikannya dan bersih dari
kesyirikan, kebanggaan diri, kemunafikan, dan membuat karunia cuma-cuma, sebagai
pahala baginya, dari berbagai pengetahuan, rahasia dan
nur.
Nah, bila orang ini menjadi bersih ruhani dan jasmani, dan hatinya
menjadi tersucikan, berarti Ia telah memilihnya di dunia ini dan di akhirat - di
dunia ini yakni melalui hatinya, sedang di akhirat yakni melalui
jasmaninya.
Maka segala bencana menjadi pencuci noda kesyirikan dan pemutus
hubungan dengan manusia, sarana duniawi dan dambaan-dambaan, dan menjadi pelebur
kesombongan, ketamakan dan harapan akan imbalan surga atas penunaian
perintah-perintah.
Cobaan yang berupa hukuman menunjukkan adanya
kekurangsabaran atas cobaab-cobaan ini, dengan mengaduh dan mengeluh kepada
orang.
Cobaan yang berupa pencucian dan penyirnaan kelemahan menunjukkan
maujudnya kesabaran, ketak-mengeluhan kepada sahabat dan tetangga, penunaian
perintah-perintah, ketak-engganan dan kepatuhan. Cobaan yang berupa pemuliaan
maqam menunjukkan adanya keridhaan, kedamaian dengan kehendak Allah, Tuhan bumi
dan lelangit, dan penafian diri sepenuhnya dalam cobaan ini, hingga saat
berlalunya.