Setiap orang ingin merasakan kebahagiaan.
Ada yang menyangka dengan datangnyauang maka ia akan menjadi bahgia sehingga
iapun mencari uang mati-matian.Ada juga yang menyangka bahwa kedudukan bisa
membuatnya bahagia, maka ia pun mencoba merebut kedudukan. Ada yang menyangka
penampilanlah yang akan membuatnya bahagia, maka mati-matian ia mengikuti mode.
Ada yang menyangka banyaknya pengikut membuatnya bahagia, begitu seterusnya.
Setiap
kali kita membutuhkan sesuatu dari selain kita, kita menyangka bahwa itulah
yang akan membuat kita bahagia. Kita menggantungkan harapan pada selain kita,
selain Allah. Padahal semakin kita berarap orang lain berbuat sesuatu untuk
kita maka sebenarnya peluang bahagia itu malah akan terus menurun. Kenapa?
Ibarat cahaya matahari yang memancar tanpa membutuhkan input dari luar,
kebahagiaan yang hakiki itu justru datng bukan dari seseorang atau dari
sesuatu.
Salah
satu bentuk kebahagiaan yang sejati adalah ketika kita hanya menggantungkan
segala urusan kepada Allah. Bagi orang yang mengenal Allah dengan baik, dan ia
tidak berharap banyak dari selain Allah, itulah salah satu kebahagiaan. Maka
bagi kita yang selama ini masih sangat ingin dihargai, masih sangat ingin
dihormati, masih sangat ingin dibedakan oleh orang lain, masih sangat ingin
diberi ucapan terima kasih ketika melakukan sesuatu untuk orang lain, atau
masih sangat ingin dipuji, maka sebenarnya makin tinggi kebutuhan kita akan
penghargaan dari orang lain, itulah yang akan menyempitkan hidup kita. Barang
siapa yang berhasil lepas dari kebutuhan-kebutuhan semacam itu, dan kita sudah
mulai bisa menikmati indahnya memberikan senyuman kepada orang lain dan
bukannya diberi senyuman; atau merasakan nikmatnya bisa menyapa orang lain dan
bukan disapa, nikmatnya menyalami dan bukan menunggu disalami, semakin kita
tidak berharap orang berbuat sesuatu untuk kita, maka inilah fondasi kita dalam
menikmati hidup ini. Kenyataan yang ada di masyarakat kita dengan terjadinya
beraneka kemunkaran, kezhaliman dan kejahatan, itu disebabkan karena kita
terlalu banyak berharap kepada makhluk dan tidak kepada Allah.
Saudara-saudaraku
yang dimuliakan Allah, suatu ketika Rasulullah Saw. ditanya, "Ya
Rasulullah, mengapa engkau diutus ke bumi?" Maka jawaban Rasulullah sangat
singkat sekali, "Sesungguhnya aku diutus ke bumi hanyalah untuk
menyempurnakan kemuliaan akhlak." Menurut Imam Al Ghazali, berdasarkan apa
yangbisa saya fahami, akhlak itu adalah respon spontan terhadap suatu kejadian.
Pada saat kita diam, tidak akan kelihatan bagaimana akhlak kita. Akan tetapi
ketika kita ditimpa sesuatu baik yang menyenangkan ataupun sebaliknya, respon
terhadap kejadian itulah yang menjadi alat ukur akhlak kita. Kalau respon
spontan kita itu yang keluar adalah kata-kata yang baik, mulia, berarti memang
sudah dari dalamlah kemuliaan kita itu. Tanpa harus dipikir banyak, tanpa harus
direkayasa, sudah muncul kemuliaan itu. Sebaliknya kalau kita memang sedang
dikalem-kalem, tiba-tiba terjadi sesuatu pada diri kita, misalnya sandal kita
hilang, atau ada orang yang menyenggol, mendengar bunyi klakson yang nyaring
lalu tiba-tiba sumpah serapah yang keluar dari mulut kita, maka lemparan yang
keluar sebagai respon spontan kita itulah yang akan menunjukkan bagaimana
akhlak kita. Maka jika bertemu dengan orang yang meminta sumbangan lalu kita
berfikir keras diberi atau jangan. Kita berfikir, kalau dikasih seribu, malu
karena nama kita ditulis, kalau diberi lima ribu nanti uang kita habis.
Terus... berfikir keras hingga akhirnya kita pun memberi akan tetapi niatnya
sudah bukan lagi dari hati kita karena sudah banyak pertimbangan.Padahal
keinginan kita semula adalah untuk menolong. Kalau sudah demikian, sebetulnya
bukan akhlak dermawan yang muncul.
Saudar-saudaraku
sekalian, inilah sekarang paling menjadi masalah bagi peradaban kita. Kita
empunyai anak, dia memiliki gelar yang bagus, sekolahnya pun di tempat yang
bergengsi, tapi akhlaknya jelek, maka tidak ada artinya. Kita punya dosen,
gelarnya berderet banyak, rumahnya pun mentereng, tapi jikalau akhlaknya,
celetuk-celetukannya atau sinisnya tidak mencerminkan struktur keilmuan seperti
yang dimilikinya, maka jatuhlah ia. Ada orang yang dianggap dituakan, tetapi
akhlaknya jelek, maka walaupun ia dituakan, dia gagal mendapatkan penghormatan.
Atau kita punya atasan, seorang pejabat yang bagus karirnya akan tetapi
akhlaknya, ...masya Allah, sudah punya isteri tapi ia dikenal berzina dengan
perempuan lain, di kantor ia mengambil harta dengan cara tidak halal, maka
jatuhlah ia.
Sekarang
ini krisis terbesar kita memang krisis akhlak. Oleh karena itu, saya sependapat
dengan seorang pengusaha terkenal dari Jepang yang mengatakan bahwa jikalau
seseorang ingin memimpin perusahaan dengan baik, maka sebetulnya skill atau keahlian itu cukup 10% saja,
yang 90% adalah akhlak. Karena akhlak yang baik, orang yang cerdas pun mau
bergabung denganya. Mereka merasa aman, merasa tersejahterakan lahir batinnya.
Akibatnya, berkumpulah para ahli. Kemudian kepada mereka diberikan motivasi
dengan akhlak yang baik maka jadilah sebuah prestasi yang besar. Oleh karena
itu sebenarnya kesuksesan itu adalah milik orang yang berakhlak mulia.
Sekedar
ilustrasi, suatu saat sedang terjadi dialog antara suami dan isteri. Sang
isteri menginginkan anaknya menjadi bintang kelas, akan tetapi sang suami
mengatakan bahwa bintang kelas itu bukan alat ukur kesuksesan anak sekolah.
Menjadi bintang kelas itu tidak harus, tidak wajib. Yang wajib bagi anak itu
adalah memiliki akhlak yang mulia. Apalah artinya ia menjadi bintang kelas
apabila kemudian ia jadi terbelenggu oleh keinginan dipuji teman-temannya. Jadi
dengki terhadap orang-orang yang pandai dikelasnya, atau menjadi takabbur
karena kepandaiannya itu. Apa artinya bintang kelas seperti ini? Lebih baik
lagi jika kita bangun mental anak kita lebih bagus, matang pada tiap
tahapannya. Kalaupun suatu saat ia ditakdirkan menjadi bintang kelas, maka itu
adalah buah dari pemikirannya. Sementara itu ia pun sudah siap denga mentalnya:
tidak dengki, tidak iri, tidak jadi sombong. Nilai ini tentunya jadi lebih
bagus daripada nilai menjadi bintang kelasnya. Apalah artinya kita lulus
terbaik jika kemudian menjadi jalan ujub takabbur. Lulus itu hanya nilai,nilai,
nilai....
Saudara-saudara
sekalian, inilah yang sepatutnya menjadi bahan pemikiran kita. Kita berbicara
seperti ini sebenarnya bukan untuk memikirkan seseorang. Siapa yang akhlaknya
demikian, demikian...Kita berbicara seperti ini adalah untuk memikirkan diri
kita sendiri. Apakah saya itu berakhlak benar atau tidak? Bagaimana cara
melihatnya?Ya, lihat saja kalau kita mendapati masalah. Bagaimana respon
spontan kita? Bagaimana struktur kata-kata kita, raut wajah kita? Apakah kita
cukup temperamental? Apakah kata-kata kita keji, menyakiti, arogan? Itulah diri
kita. Kesuksesan dan kegagalan itu bergantung pada hal semacam ini. Bergantung
apa yang kita lakukan. Apakah dengan DT bisa menjadi sebesar ini sudah menjadi
tanda kesuksesan? Belum. Masih jauh. Kalau hanya alat ukur kemajuan
bertambahnya bangunan atau tanah, ah... orang-orang kafir juga bisa
melakukannya. Kalau hanya sekedar jama'ah berhimpun banyak, itupun gampang.
Tetapi apakah dakwah ini elah mampu merobah akhlak kita? Itulah alat ukurnya.
Sering
diungkapkan, bagaimana ukuran kesuksesan seseorang dalam berdakwah? Gampang.
Kesuksesan seseorang yang berdakwah adalah apakah dirinya pun bisa berubah
menjadi lebih baik atau tidak? Kalau hanya berbicara seperti ini, mengeluarkan
dalil tapi yang bersangkutan akhlaknya tidak berubah, itu malah mencemarkan
agama. Kesuksesan dakwah bukan karena banyaknya pendengar atau jumlah jama'ah
karena dakwah itu bukan sekedar menikmati kata-kata. Kesuksesan berdakwah
adalah ketika yang berdakwah ini pun semakin baik akhlaknya, semakin tinggi
nilai kepribadiannya. Insya Allah. Mudah-mudahan keluhuran pribadi itulah yang
menjadi alat dakwah kita. Bukan hanya mengandalkan kekuatan kata-kata belaka.