Rabu, 06 Februari 2013

Kisah Seorang Pemuda



Cinta itu membuat sesuatu tampak lebih indah.Kenyataannya tidak selamanya, setidak-tidaknya yang terjadi pada diriku sekali ini. Cinta malah membuatku menjadi gusar, marah, sedih.. ah, yang pahit-pahit, lah ! Segala sesuatu yang seharusnya tampak berbunga-bunga, kini malahan menjadi kelabu. Ini terjadi semenjak aku menganal seorang gadis teman kuliahku.Orangnya sederhana saja. Hanya saja, dari pengamatanku selama ini,aku melihat ia memiliki keistimewaan dan nilai lebih dibandingkan wanita lain yang pernah kutemui. Wajahnya yang teduh,cara berbicara yanglembutdan berwibawa, serta kepribadiannya yang menawan membuat aku terpana. Aku benar-benar mengaguminya dan kurasa aku telah jatuh cinta padanya.

Pernah sekali kucoba untuk berbicara serius dengan wanita idamanku itu. Tapi, setiap kali aku ingin menyusun kata-kata, di situ pula pikiranku menjadi buntu. Dan tampaknya ia memahami kesulitanku tadi. Akh ... entahlah, aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Terkadang kucoba untuk melupakannya, namun semakin kucoba melupakannya aku
malah semakin mengingatnya.

Sebenarnya bukan jatuh cinta yang membuatku jadi begitu. Sudah berulangkali aku mengalaminya dan tak satu pun yang membuatku gelisah. Tapi semuanya disebabkan oleh prinsip-prinsip yang selama ini aku pegang. Cinta tak selamanya harus memiliki.Cinta itu memberi tanpa harap menerima. Cinta itu hanya dapat dirasakan dan tak dapat
dinyatakan. Semua itu adalah sebagian prinsip yang selama ini aku tegakkan setiap kali orang frustasi bertanya kepadaku tentang cinta. Tapi, ketika aku frustasi kini, tak satupun prinsip-prinsip itu dapataku terima untuk mengobati hatiku yang malang ini.

Aku ingin menyatakan cintaku. Aku ingin memilihnya sebagai orang yang
selalu mendampingiku di setiap suka dan duka."Pacaran itu dosa, lho!" ujar seorang teman yang kupercayai kredibilitas keagamaanya. Ucapan itu membuatku semakin gundah. Di satu sisi aku ingin memprotesnya, tapi di sisi lain aku sangat cinta kepada Islam yang selama ini aku perjuangkan,"Bukankah Allah-lah yang sepatutnya kita cintai ?" ujar temanku itu mengulangi perkataan yang dulu pernah aku lontarkan di setiap diskusi tentang iman. Itu membuatku malu pada diriku sendiri dan benci pada cinta ini.

Tak ada pilihan lain. Aku harus menemui Pak Kiai untuk menemukan jawaban yang tak kunjung kudapat. Masalah ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut.

Kulangkahkan kakiku melintasi jalan setapak yang telah setahun tak pernah kuinjak. Sunyinya jalan itu membuat aku terus memikirkan yang telah terjadi.

Setiap belokan membuatku mendesah seraya menyesali diri. Tak adakah hal lain yang dapat kupikirkan selain cinta dan cinta ? Sebenarnya aku sangat ngeri meminta nasihat dari Pak Kiai yang setiap perkataannya selalu membuat telingaku memerah. Kata-katanya tak pernah lembut, seringkali kasar dan tidak sopan. Tak peduli apakah yang datang kepadanya seorang pejabat, bandit, atau orang yang sedang susah. Ia selalu  emuntahkan kata-kata dengan intonasi, kosakata, volume suara, dan koefisien kekasaran yang tak berbeda. Baginya semua manusia sama. Dia pun tak sungkan untuk diprotes meski oleh orang bergelimang dosa sekalipun. Mungkin hal itulah yang menyebabkan aku
selalu menaruh kepercayaan yang besar akan keikhlasannya membimbing umat. Apalagi setiap kali aku berbicara kepadanya,selalu ada saja hal-hal baru yang dapat aku bawa pulang.

"Mau apa kau ke sini ?" tanya Pak Kiai memulai kebiasaanya: kasar. "Aku sedang jatuh cinta, Pak Kiai!" jawabku langsung ke pokok permasalahan sebab aku tahu Pak Kiai tak suka basa-basi.

"Baguslah kalau begitu. Itu tandanya kau masih manusia." "Tapi, Pak Kiai, aku jatuh cinta pada seorang wanita. Bagaimana itu Pak? Apa yang harus kulakukan?"

"Bayangkanlah kalau kau jatuh cinta pada seorang pria. Kenapa kau merasa gelisah sekali dengan mencintai seorang wanita? Apakah ia wanita yang nggak beres?" "Oh, tidak! Dia wanita baik-baik. Baiiik sekali. Dia menjalankan agamanya dengan sepenuh hati. Dia cukup membatasi pergaulannya dengan setiap lelaki.Yah, itulah yang mungkin menjadi masalah padaku. Coba kalau dia itu wanita yang nggak beres, tentu masalahnya takserumit ini."
"Kau bodoh. Seharusnya kau bahagia mencintai wanita seperti itu. Coba bayangkan kalau kau mencintai wanita slebor. Hatimu akan terus sibuk memikirkan setiap tingkah lakunya. Kau akan merasakan cemburu, sakit hati, membenci, dendam, bisa-bisa kau gila.Pikiranmu akan terus tersita dengan wanita seperti itu. Kapan lagi kaumau ingat Allah? Bukankah mencintai wanita yang sholeh membuatmu sadar untuk bertindak
seperti orang yang kau cintai?"

"Benar, Pak! Lalu, apakah aku boleh berpacaran dengannya? Aku merasa tidak puas hanya dengan berteman dengannya. Perlu Pak Kiai ketahui bahwa banyak orang mengatakan bahwa pacaran itu haram karena dengan pacaran hati kita akan sibuk mengingat kekasih kita sehingga kita lalai dari mengingat Allah. Bagaimana pula kalau dengan pacaran malah mebuat kita semakin ingat dengan Allah?"

Pak Kiai diam sejenak. Dahinya yang hitam mengkerut seolah memikirkan sesuatu yang sangat berat. Matanya sesekali memandang ke arahku dengan tajam. "Maaf Nak! Aku sudah tua. Banyak sekali hal-hal yang sudah aku lupakan. Tolong kau jelaskan kepadaku apa yang kau maksud dengan pacaran. Setahuku, kata itu belum pernah aku jumpai di kitab fikih manapun sehingga dapat ditentukan halal haramnya.

Artikel Terkait

1 komentar so far